Monday 13 April 2015

PERLINDUNGAN KONSUMEN

PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. PENGERTIAN DAN PENGATURAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

Istilah “konsumen” berasal dari bahasa Belanda “konsument,” bahasa Inggris “consumer“. Yang berarti “pemakai”. Dengan demikian konsumen adalah “pengguna akhir” (end user) dari suatu produk, yaitu setiap pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Sedangkan yang dimaksud dengan “produsen” atau pelaku usaha adalah setiap perorangan atau badan usaha yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai kegiatan ekonomi.
Dari Pasal 3 “Directive”, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “produsen” adalah :
a. Pihak pembuat suatu produk akhir atau bagian komponennya berupa produk-produk manufaktur.
b. Produsen dari tiap bahan mentah apapun,atau
c. Tiap orang, yang dengan membubuhkan nama, merek dagang ataupun ciri pembeda lainnya pada suatau produk adalah mewakili dirinya sendiri sebagai produsen barang atau produk tersebut.
d. Setiap orang yang mengimpor suatu produk ke dalam lingkungan Economic Community, apakah untuk dijual,disewakan, dikontrakan, atau bentuk distribusi lain di dalam perdagangan bisnisnya
sebagai produsen dan harus bertanggung jawab sebagai produsen.

Pengaturan perlindungan konsumen di Indonesia yang memiliki instrumen hukum integratif dan komprehenshif terdapat dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pemberlakuan UU ini dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen dan melindungi kepentingan konsumen serta mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan yang berkualitas dengan memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dfan menengah. Oleh karena itu UU Perlindungan Konsumen tersebut memiliki asas sebagai berikut:
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam oenyelengngaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan,
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikaan kesempatan pada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajiban secara adil.
3. Asas keseimbangan.dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingsn konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan. Dan keselamatan kepada konsumen jasa dalam penggunaan, pemakain dan pemanfaatan barang dan /atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baiak pelaku usaha maupoun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum
Sedangkan yang merupakan tujuan dari perlindungan konsumen yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan atau jasa.
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
6. Meningkatkan kualitas barang dan jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

B. PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN

Saat ini, hampir disetiap perjanjian, seorang monsumen dihadapkan pada kenyataan hadirnya “standard contracts”, yaitu suatu perjanjian yang telah dibuat secara sepihak sebelum ditandatangani perjanjian. Biasanya hal tersebut dilakukan oleh pihak penjual atau pemberi jasa. Syarat-syarat tersebut berlaku bagi siapapun yang mengikatkan diri dalam perjanjian atas dasar prinsip “take it or leave it”, tanpa suatu perundingan sebelumnya.

Dengan demikian, isi atau klausula perjanjian telah dibakukan atau dituangkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pengusaha yang dituangkan dalam bentuk formulir ( blanko ). Konsumen tinggal membubuhkan tandatangan saja, apabila bersedia menerima aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sephak oleh pengusaha, tidak memberikan kesempatan kepada konsumen untuk untuk membicarakan lebih lanjut klasula yang dimajukan pihak pengusaha. Klausula baku tersebut mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Hal diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya praktis dan kolektif.
Saat ini dengan lahirnya UU No. 8 Tahun 1999, pencantuman klausula baku dalam dokumen atau perjanjian dibatasi guna menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 tersebut menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klasula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :

a. Letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
b. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.
d. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak pembayaran kembali uang yang dibayarkan atas barang dan atau jasa yang dibeli oleh konsumen.
e. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha secara langsung atau tidak langsung untuk melakukan segala tindakan hukum sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
f. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.
g. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
h. Menyatakan tunduknya konsumen terhadap aturan baru, tambahan, lanjutan dan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha.
i. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk membebankan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Sebagai konsekuensinya setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku uszaha pad dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud di atas dinyatakan batal demi hukum. Oleh karena itu pelaku usaha diwajibkan untuk menyesuaikan klausula baku yang dibuatnya yang bertentangan dengan undang-undang.
Dengan demikian sejak adanya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, maka tidak boleh ada lagi klausula baku dalam perjanjian yang merugikan konsumen. Bagi para hakim sudah selayaknya membatalkan pernjanjian yang memuat klausula baku yang merugikan konsumennnya, konsumen terpaksa menyetujui klausula perjanjian yang telah ditetapkan sepihak oleh pengusaa. Saat itu konsumen dalam kedudukan posisi yang lemah dibandingkan dengan pengusaha.

C. HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

Terdapat 4 ( empat ) hak dasar konsumen yang sudah berlaku secara universal, yaitu sebagai berikut:
1. Hak atas keamanan dan kesehatan.
2. Hak atas informasi yang jujur.
3. Hak pilih.
4. Hak untuk didengar.

Selain dari 4 (empat) hak dasar seperti tersebut di atas, dalam literatur hukum terkadang keempat hak dasar tersebut digandeng dngan hak untuk mendapat lingkungan hidup yang bersih sehingga kelima-limanya disebut dengan “Panca Hak Konsumen”.
Di samping itu, perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen selain 4 (empat) hak dasar sepertu tersebut di atas, menambahkan beberapa hak lagi bagi konsumen yang disebut sebagai “Hak Tambahan” bagi konsumen, yaitu sebagai berikut:
1. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa konsumen.
2. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
3. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur dan tidak diskriminatif.
4. Hak untuk mendapatkan kompensasi yang layak atas pelanggaran haknya.
5. Hak-hak yang diatur dalam berbagai perundang-undangan lainnya.

Sedangkan kewajiban konsumen menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah sebagai berikut:

1. Membaca atau mengikuti petunjuk, informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa demi keamanan dan keselamatan.
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan atau jasa.
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang telah disepakati.
4. mengikuti upaya penyelesaian hukum tentang sengketa konsumen secara patut.
Kemudian, yang menjadi hak pelaku usaha adalah sebagai berikut:
1. Menerima pembayaran sesuai kesepakatan.
2. Menadpatkan perlindungan hukum dari perlakukan konsumen yang tidak beritikad baik.
3. Melakukan pembelaan diri sepatutnya dalam penyelesaian sengketa konsumen.
4. Merehabilitasi nama baik apabila ternyata dalam penyelesaian sengketa dengan konsumen, ternyata kerugian konsumen bukan disebabkan oleh barang dari pelaku usaha tersebut.
5. Hak-hak lain yang diatur dalam berbagai perundang-undangan.

Sedangkan yang menjadi kewajiban sekaligus yang tanggung jawab pelaku usaha adalah :
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur tentang kondisi dan penggunaan barang dan jasa.
3. Memberlakukan dan melayani konsumen secara benar, jujur dan tidak diskriminatif.
4. Menjamin mutu barang/jasa sesuai standar mutu yang berlaku.
5. Memberi kesempatan yang masuk akal kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang/jasa tertentu, serta memberikan garansi atas barang yang diperdagangkan.
6. Memberikan ganti rugi manakala terjadi kerugian bagi konsumen dalam hubungan dengan penggunaan barang/jasa.
7. Memberikan ganti rugi manakala terjadi kerugian bagi konsumen jika ternyata barang/jasa tidak sesuai dengan yang diperjanjikan.
8. Menyediakan suku cadang dan atau fasilitas purna jual oleh produsen minimal untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
9. Memberikan jaminan atau garansi atas barang yang diproduksikannya.

D. PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA

Untuk melindungi pihak konsumen dari ketidakadilan, perundang-undangan memberikan larangan-larangan tertentu kepada pelaku usaha dalam hubungan dengan kegiatannya sebagi pelaku usaha. Larangan-larangan tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Larangan yang berhubungan dengan barang dan atau jasa yang diperdagangkan.
2. Larangan yang berhubungan dengan promosi/iklan yang menyesatkan.
3. Larangan dalam hubungan dengan penjualan barang secara obral atau lelang yang menyesatkan.
4. Larangan yang berhubungan dengan waktu dan jumlah yang tidak diinginkan.
5. Larangan terhadap tawaran dengan iming-iming hadiah.
6. Larangan terhadap tawaran dengan paksaan.
7. Larangan terhadap tawaran dalam hubungan dengan pembelian melalui pesanan.
8. Larangan yang berhubungan dengan pelaku usaha periklanan.
9. Larangan yang berhubungan dengan klausula baku.

E. PENEGAKAN HUKUM KONSUMEN

a. Konsekuensi Yuridis terhadap Pelanggaran Perundang-Undangan tentang Perlindungan Konsumen
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan perundang-undangan tentang perlindungan konsumen berakibatkan terhadap konsekuensi-konsekuensi hukum sebagai berikut:
i. Kewajiban pelaku usaha/importir/penjual untuk menghentikan kegiatannya atau menarik barangnya dari peredaran, dan atau
ii. Memberikan ganti rugi kepada konsumen dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah transaksi dengan beban pembuktian di pihak pelaku usaha/importir/penjual, dan/atau
iii. Tuntutan pidana kepada pelaku usaha/importir/penjual, dengan beban pembuktian pada pelaku usaha/importir/penjual tersebut.

b. Badan Perlindungan Konsumen Nasional
Untuk mengembangkan upaya perlindungan konsumen, dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional yang berkedudukan di ibukota negara, dengan anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usulan menteri setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Bila perlu, Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk perwakilan di daerah tingkat propinsi.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas-tugas sebagai berikut:
i. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka menyusun kebijaksanaan di bidang perlindungan nasional.
ii. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap perundang-undangan.
iii. Melakukan penelitian terhadap barang dan atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen.
iv. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
v. Memasyarakatkan prinsip perlindungan konsumen.
vi. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen.
vii. Melakukan survai yang menyangkut dengan kebutuhan konsumen.
viii. Bekerja sama dengan organisasi konsumen intenasional.

c. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat, diakui oleh pemerintah. Lembaga ini mempunyai tugas-tugas sebagai berikut:
i. Menyebarluaskan informasi untuk meningkatkan kesadaran tentang perlindungan konsumen.
ii. Memberi nasihat kepada konsumen yang memerlukannya.
iii. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen.
iv. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan dari konsumen.
v. Melakukan pengawasan bersama dengan pemerintah dan masyarakat terhadap jalannya perlindungan konsumen ini.

d. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan di dalam pengadilan (peradilan umum) maupun di luar pengadilan, berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Jadi para pihak dapat memilih secara sukarela penyelesaian sengketa konsumennnya, bisa melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Menurut 45 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1999 menyatakan bahwa :
“ Penyelesaian sengketa konsumen tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa yaitu tanpa melalui pengadilan atau Badan pneyelesaian Sengketa Konsumen dan tidak bertentangan dengan undang-undang ini .“
Dengan demikian, penyelesaian sengketa konsumen dapat dikukan melalui cara-cara sebagai berikut :
 Penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa ( pelaku usaha dan konsumen ) tganpa melibatkan pengadilan atau pihak ketiga yang netral.
 Penyelesaian sengketa melalui pengadilan.
 Penyelesaian di luar pengadilan melalui badan pneyelesaian Snegketa Konsumen.
Gugatan yang disengketakan dapat dilakukan oleh seorang konsumen yang dirugikan atau gugatan kelompok (class action), yang dilakukan oleh:
 Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
 Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
 Pemerintah atau instansi terkait apabila menyangkut dengan kerugian yang besar atau menyangkut korban yang banyak.

Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat ditempuh oleh badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang dibentuk oleh pemerintah di Daerah Tingkat II. Putusan dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan, dan dapat dimintakan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di wilayah tempat konsumen yang bersangkutan.

Tugas dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah sebagai berikut:
i. Menangani penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi, konsolidasi dan arbitrase.
ii. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen.
iii. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku.
iv. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen.
v. Menerima pengaduan konsumen.
vi. Melakukan penelitian dan pemeriksaan atas sengketa perlindungan konsumen.
vii. Memanggil pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran.
viii. Memanggil dan menghadirkan saksi-saksi.
ix. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau pihak-pihak lainnya.
x. Mendapatkan, meneliti dan menilai alat bukti dokumen atau alat bukti lain.
xi. Menetapkan ada atau tidaknya kerugian konsumen.
xii. Memberikan pemberitahuan putusan kepada pelaku usaha yang bersangkutan.
xiii. Menjatuhkan sanksi administrasi kepada pelaku usaha, berupa ganti rugi maksimum Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

e. Penerapan Sanksi-Sanksi
Sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan kepada konsumen adalah sebagai berikut :

i. Sanksi Pidana
Sanksi pidana dapat dijatuhakn oleh pengadilan (umum) setelah melalui proses pidana biasa, yaitu lewat proses penyidikan, penuntutan dan pengadilan. Proses penyidikan dilakukan oleh Polisi Negara atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah. Sedangkan yang melakukan proses penuntutan adalah badan penuntut umum (jaksa). Dan, proses pengadilan dilakukan oleh badan peradilan umum yang berwenang.
Sanksi pidana berupa pidana pokok, yaitu:
1. Penjara maksimum 5 (lima) tahun atau denda Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) untuk perbuatan tertentu, atau
2. Penjara maksimum 2 (dua) tahun atau denda Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk perbuatan tertentu, atau
3. Pidana penjara umum atau denda umum yang belaku.
Di samping itu, terdapat juga pidana tambahan berupa:
1. Perampasan barang tertentu.
2. Pengumuman putusan hakim.
3. Pembayaran ganti rugi.
4. Penghentian kegiatan tertentu.
5. Kewajiban penarikan barang dari peredaran.
6. Pencabutan izin usaha.

ii. Sanksi Perdata
Sanksi perdata kepada pihak pelaku usaha yang telah merugikan konsumen mungkin diberikan dalam bentuk kompensasi atau ganti rugi perdata, yang dijatuhkan oleh Pengadilan Perdata yang berwenang.

iii. Sanksi Administrasi
Selain itu, tersedia juga sanksi administrasi bagi pelaku usaha yang melanggar perundang-undangan yang berlaku, berupa:
1. Sanksi administrasi berupa ganti rugi dapat dijatuhkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau pengadilan umum.
2. Sanksi administrasi lainnya yang dijatuhkan oleh pengadilan atau pejabat pemerintah yang berwenang.
f. Pembinaan dan Pengawasan Perlindungan Konsumen
Pasal 29 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
Sesuai dengan Pasal 17 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan Konsumen , bahwa pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen tersebut dilimpahkan dan dilaksanakan oleh menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagngan dan/ atau menteri yang bertanggung jawab secara teknis menurut bidang tugasnya. Menteri inilah yang melakukan koordinasi atas penyelenggraaan-pengelenggaraan perlindungan konsumen.
Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen meliputi upaya untuk :
a. Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen.
b. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
c. meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatkan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
Sedangkan menurut Pasal 30 UU No. 8 Tahun 1999, pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan diselnggarakan oleh :
a. pemerintah, dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri
teknis terkait.
b. masyarakat, dan
c. lembaga perlindungan konsumen masyarakat, dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian, dan/survei.
Apabila hasil pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada menteri dan menteri teknis. Ini berarti hasil pengawasan masyarakat dan lembaga perlindungan onsumen swadaya masyarakt tidak bersifat rahasia, sebab dapat disebarluaskan. Peraturan pemerintah akan mengatur lebih lanjut ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen.

SISTEM INFORMASI PEMASARAN

1. PENDAHULUAN Materi dalam modul kali ini masih berkaitan dengan pembahasan di modul yang sebelumnya. Suatu perusahaan dapat bertahan dan...